PikiranRakyatPapua.com, Kota Sorong- Kuasa Hukum IKS menduga penyidik Kepolisian Resor Raja Ampat sewenang-wenang menetapkan IKS sebagai tersangka dalam perkara dugaan kekerasan terhadap anak.
Untuk itu, melalui kuasa hukumnya La Ode Munir, IKS mengajukan Praperadilan terhadap Polres Raja Ampat selaku penyidik in casu Termohon, Nomor: S.Tap/45/X/RES.1.24/2024/Reskrim, tanggal 14 Oktober 2024, dalam dugaan tindak pidana kekerasan terhadap anak ke Pengadilan Negeri Sorong.
” Permohonan Praperadilan yang kami daftarkan pada Selasa 29 Oktober 2024 lalu telah teregistrasi di PN Sorong dengan nomor 2/Pra.Pid/2024/PN.Son,” jelas Ketua Tim Kuasa Hukum La Ode Munir, Selasa, 12 Nopember 2024.
Lebih lanjut La Ode Munir menjelaskan, dalam permohonannya IKS meminta PN Sorong menguji proses penyelidikan dan penyidikan hingga ditetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan oleh Termohon dalam hal ini penyidik Polres Raja Ampat yang di duga terjadi malprosedur dan maladministrasi.
Di sisi lain Hayirul Raha melihat jika penetapan tersangka hanya berdasarkan Laporan Polisi dan satu keterangan saksi fakta yang masih anak-anak dengan tanpa ada pendampingan Ahli yang mempunyai kompetensi untuk menilai benar tidaknya keterangan si anak tersebut, menunjukkan bahwa peningkatan status penyelidikan ke penyidikan serta peningkatan status Pemohon dari Saksi menjadi Tersangka yang dilakukan oleh Termohon sangat absurd dan di dorong oleh subjektivitas belaka.
Makanya, lanjut Munir, dalam petitum kami meminta agar penetapan tersangka oleh Kepolisian Resort Raja Ampat dinyatakan batal.
” Menyatakan bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka merupakan perbuatan sewenang-wenang karena tidak sesuai dengan prosedur dan bertentangan dengan hukum dan dinyatakan batal,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa sidang perdana praperadilan telah digelar Selasa 12 November 2024 pukul 10.00 WIT, dengan agenda pemeriksaan legal standing kedua pihak. Kemudian sidang dilanjutkan dengan pembacaan permohonan praperadilan oleh pihak Pemohon, selanjutnya jawaban dari termohon.
La Ode Munir juga menyebut, jawaban termohon terdapat substansi dalil yang sangat ironis dan paradoks, dimana termohon mendalilkan Memerhatikan telah ditetapkannya tersangka (pemohon) menjadi status Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan adanya surat nomor : DPO/2/XI/Res.1.24.2024/Reskrim, tanggal 1 November 2024 dan seterusnya.
Faktanya, kata La Ode Munir, dalam perkara ini, pada saat penyidik mengirim surat panggilan I kepada pemohon, telah ada konfirmasi dari kuasanya dengan menyurat secara patut kepada atasan penyidik bahwa saudara IKS belum bisa memenuhi panggilan karena pengacara yang mendampingi sementara melaksanakan agenda sidang diluar kota.
Sejak tanggal 1 November hingga saat ini saudara IKS hanya berada di Waisai dan Kota Sorong, beberapa kali bertemu langsung dengan penyidik yang menangani perkara a quo. Namun sama sekali tidak ada reaksi dari penyidik.
Logikanya, apabila seseorang telah ditetapkan tersangka lalu dengan status DPO, yang bersangkutan sudah saling kenal dengan penyidik, maka dipastikan tindakan penyidik cenderung represif. Namun dalam beberapa kali pertemuan tidak ada reaksi apa-apa dari penyidik yang menangani.
Menanggapi hal tersebut ada azas Kepatutan dan Kewajaran dalam penerapan SEMA Nomorb Tahun 2018 dengan maksud untuk mencegah tersangka yang berstatus DPO menyalahgunakan hak praperadilan.
” Jika status DPO baru diterbitkan setelah permohonan praperadilan diajukan, maka hal ini dapat dipandang tidak patut karena terkesan hanya untuk menggugurkan praperadilan,” beber Munir. (Edi)